Perjalanan Menyadari dan Mempertahankan Kesehatan Mental
Cara-cara untuk tetap waras melewati badai kehidupan
The Triggering Event
Ini ceritanya di pertengahan bulan Oktober 2023. Gw lagi di apartemen di Riyadh, Saudi Arabia. Udah 2 bulan gw disini untuk bangun bisnis, posisinya jauh dari keluarga. Empat hari ke belakang ini, rasanya hari itu beraaat banget. Stres. Jujur, even gw belum pernah ngerasa kayak gini sebelumnya. Cukup lama sampe akhirnya gw sadar akar masalah dari fenomena ini. Finally, gw sadar kalau ini gara-gara gw udah lama gak dapet physical touch dari keluarga gw. Yup, super spesifik physical touch. Kalau teleponan curhat itu udah tiap hari ya dilakuin. Tapi pelukan dari keluarga itu yang bikin bener-bener ngerasa ‘ada yang hilang’. Yang bikin lebih parah, karena ada drama yang bikin gw marah [(yang ternyata hal itu came up naturally ke gw). Nanti gw ceritain di akhir.]
Akibatnya, hari-hari itu dilalui dengan badan berasa ‘gak functional’. Mikir gak bisa, kerja gak bisa. Rasanya cuma pengen hari itu cepet berlalu aja. Ini yang triggering gw untuk retrospektif. Lho, apa ya yang salah? Apa yang gw belum tahu tentang diri gw?
Akhirnya gw came up dengan topik bahasan ‘mental health’. Di tulisan ini kita bakal bahas tentang masalah pada ‘gembar gembor publik tentang mental health’ yang berseliweran di sosmed, tentang mental adversity, love languages, dan lain-lain. Tujuannya apa? Bayangin aja gini:
Sehancur apapun hari kita, kalau kita bisa menjaga faktor-faktor pendukung ‘mental health’ kita, kita bakal siap untuk terus maju, whatever it takes.
Sounds good? Let’s gooo!
Permasalahan Terms ‘Mental Health’ di Masyarakat
Gw punya pendapat bahwa kita perlu dudukkan permasalahan kategori ‘mental health’ yang berseliweran di sosial media. Biasanya apa sih yang kita denger? Gw sering denger tuh pembela ‘mental health’ untuk nyuruh kita resign karena pertemanan kantor yang toxic (misalnya). “Wah perusahaannya gak mendukung mental health”, ceunah. Atau; kerjaan kantor / bisnis dengan target yang gak masuk akal, sehingga bikin kerja terlalu keras dan gak mendukung mental health. Atau; jam kantor yang panjang, jadi gak bisa work-life balance untuk main-main di luar kantor.
Debat ini jujur akan cukup panjang, tapi highlight nya dulu adalah:
Kadang orang-orang menormalisasikan pemakaian istilah mental health, yang sebenernya adalah sebuah absensi dari sikap ‘grit’ atau ‘mental adversity’.
Dengan kata lain, kita bisa bilang sama orang itu: “coy, itu bukan lingkungan lo yang salah, tapi lo-nya aja yang kurang kuat mental”. Sambil dihentak dikit orangnya boleh tuh biar dia sadar. Hehe.
Belajar dari Mark Manson
Baru minggu lalu gw nonton “The Subtle Art of Not Giving a F*ck”. Jujur boring banget sih filmnya. Gw juga gak rekomen buat nonton filmnya sebenernya. Itu diangkat dari bukunya dia sendiri, si Mark Manson. Untung aja hal yang gw cari muncul tuh di bagian akhir filmnya. Poin pertama yang gw dapet adalah:
Kita biasa ikut pusing untuk ngurusin hal-hal yang terjadi di sekitar kita. Padahal seringkali kita gak perlu pusing ngurusin hal itu.
Kalau di teorinya buku Seven Habits of Highly Effective People (Stephen Covey): jadi ada lingkaran, dimana lingkaran luarnya adalah “circle of concern”, dan lingkaran dalemnya adalah “circle of influence”. Lingkaran yang pertama itu adalah kategori hal-hal yang masuk ke dalam radar kita, tapi kita gak bisa berbuat apa-apa. Contoh, apa yang orang lain lakukan terhadap kita atau terhadap teman kita. Nah ada lagi tuh lingkaran kedua, yang kategorinya adalah itu hal-hal yang bisa kita ubah. Kayak kebiasaan kita, kerjaan kita, dst.
Circle of Concern and Circle of Influence
Masalahnya muncul ketika kita ngurusin hal yang ada di circle of concern kita, tapi bukan circle of influence kita. Kayak “men, ya kita gak bisa apa-apa” anyways. Fokus aja sama apa yang bisa kita perbuat. Gausahlah mikirin anak pejabat yang ngaco-ngaco, misalnya. Urusan kita masih banyak. Kur-leb begitu.
Hal kedua yang gw dapet dari The Subtle Art of Not Giving a F*ck adalah:
Kematian itu yang akan bikin kita sadar dan mempermudah pembuatan keputusan-keputusan yang kita buat di hidup ini. Kita tahu bahwa hidup itu naik turun. Kita bakal dapet kemudahan dan kesulitan. Its just part of life. Sehingga, kita harus cari hal-hal yang bener-bener penting buat kita. Terus kita kerjain. Dan sambil kita kerjain, kita juga sadari bahwa pasti akan ketemu tuh namanya cobaan, ujian, masalah. The best part - hal itu gak masalah, karena kita udah memutuskan hal itu, dan susah senang kita akan terima konsekuensinya.
Contoh, kalau kita pindah dari karyawan jadi pebisnis - ya kita harus siap-siap ketemu ketidakstabilan seperti biasanya, untuk reward juga yang mungkin tidak bisa didapatkan sama orang lain. Ya bisnis memang susah, tapi kalo kita siap jalanin dan siap ikut roller coasternya, kita bisa mendekat ke tujuan akhirnya.
Membentuk Misi Personal Ala Islamic Ikigai
Nah, kita di Shafa udah punya framework namanya Islamic Ikigai (ada ebooknya), dan ada worksheetnya namanya Islamic Ikigai Canvas. Udah ada frameworknya sebenernya apa aja sih hal-hal yang perlu kita jaga dan “give a f*ck about”. Ya misalnya: ibadah kita, keluarga kita, pekerjaan, dst. Contoh, ini yang jadi identitas / personal mission (Misi Khusus) Jodhias, ada 6:
Hamba dan Keluarga Allah; Pejuang Syahid dan Firdaus
Financial Freedom (untuk membelanjakan harta terbaik di jalan Allah)
Enabler of Ibadah, Dai, Prosperity, and Ongoing Charity
Pemelihara Keluarga dan few meaningful connections (baru ditambah)
Atlit Gym
Orang Baik: Filantropis kepada sekitar sesama, tetangga, dan pemelihara yatim.
*materi ini jujur panjang, materi sebelumnya terkait materi Visionary Life, materi setelah ini ada canvas OKR nya (Objective Key Results)
Nah, di perkara-perkara di atas ini: no excuse - bahwa gw udah sewajarnya harus all out, kerja keras, banting tulang, maju terus apapun yang terjadi - demi tercapainya personal mission ini. Grit atau mental adversitynya harus dikuatin untuk hal-hal ini.
Sekarang gw jelasin untuk contoh case sebelumnya. Misal - kalau menurut gw penting untuk mendapatkan financial freedom, masa temen kantor toxic (dikit aja), gw malah resign? Gw punya purpose atau tujuan yang lebih besar lho. Sekarang kebayang ya. Itu bukan tentang mental health yang harus dijaga. Itu tentang mental adversity-nya yang kurang. I know - kondisi orang bisa beda-beda, but you got my point.
Beberapa Faktor Pendukung Mental Health
Nah kalo gitu apa faktor pendukung mental health gw? (Kalau ini opini gw ya, jujur gak pernah belajar dalem tentang topik ini). Tapi menurut gw, faktor-faktor pendukung mental health adalah: “apa hal yang walaupun kita mengalami hari yang hancur lebur, tapi dengan support system ini, kita jadi tetep waras?”
Tiap orang pasti punya jawaban yang beda-beda. Tapi kalau jawaban gw ini:
Khusyuk sama Allah
Getting some hugs
Bisa curhat
Somebody is actually care for me / love me
Being Impactful / bermanfaat buat orang lain
Sebentar, gw kategoriin dulu ya. Karena gak semuanya punya porsi yang sama. Kita pakai framework Kano Model misalnya (monggo di google buat yang mau tahu lebih dalam).
Must haves: Getting some hugs & bisa curhat. Nah ini hal-hal yang kalau gw dapet, bisa bikin gw function dan bisa kerja selayaknya hari-hari biasa. Kayak ke titik 0 lagi lah ibaratnya.
Performance: Khusyuk sama Allah & Somebody care for me. Ini hal-hal yang bisa bikin gw semangat dan jadi punya energy lebih untuk kerja.
Delighters: Dapet report memberi dampak/impact pada orang. Ini yang bikin gw merasa fulfilled.
Ada beberapa hal yang jadi catatan disini:
Disini gw gak mau ngejudge dulu tentang apa yang gw rasakan vs apa yang seharusnya. Contoh: “kok sama Allah ditaro disitu, harusnya kan lo punya Allah cukup, jod.”
Awalnya gw pikir gw butuh pujian, tapi setelah didalami lagi, ternyata bukan pujiannya yang penting, tapi bisa ‘menolong orang menjadi lebih baik’-nya yang penting. Itu ngasi energi buat gw. Kayak kalau lagi ngisi seminar, terus dapet laporan dari para mentee ngerasa bermanfaat gitu, nah itu fulfil pisan rasanya.
Punya jabatan, power, luxurious ownership kayak mobil rumah dll: jujur bukan itu lah faktor mental health.
Harta: awalnya gw kira ini juga part of mental health. Tapi setelah dipikir lagi: kalau punya Allah dan percaya sama janji Allah bahwa rezeki kita “pasti dijamin cukup selama di dunia”: ya udah percaya aja sama janji itu, gak perlu pusing ‘kalau gak ada duit jadi mental healthnya kacau’, misalnya.
Main game / denger musik, dst: nah salah satu yang gw sempet coba itu main game. Awalnya rasanya yes naik tuh keknya dopamin kita. Jadi seneng. Tapi seiring berjalannya waktu, selalu aja rasanya ada yang salah. Jadi dari t0 ke t1 itu ibaratnya mental health (ato simply rasa kesenangan) gw kedongkrak naik, tapi dari t1 ke t2 kalo tetep diterusin main game, itu malah jadi minus lagi. Ada perasaan menghabis-habiskan waktu yang bikin gak enak gitu. Jadi ini fix solusi sementara doang. Gw gak tau, tapi kayaknya ngerokok, dunia malam, mabok, narkoboy, segala macam maksiat - patternnya sama begini juga, dengan kalkulasi perpangkatan - eksponensial naik dan curam turun. Clear, tubuh kita punya fitrah.
The Five Love Languages
Yang menarik adalah: ternyata hal-hal yang menurut gw menjadi faktor pendukung ‘mental health’ tadi, itu basically hal-hal yang disebut di teori Five Love Languages. Kelima hal itu adalah Physical Touch, Quality Time, Words of Affirmations, Act of Services, Receiving Gifts. Jadi tiap orang dari kita itu punya love languages yang beda-beda kadar ‘berat/massa/dampak’nya. Contoh gw itu urutannya di physical touch, quality time, words of affirmation, service, dan gift.
Nah menariknya, biasanya orang menganggap orang lain itu sama kayak kita, padahal enggak. Contoh: biasanya orang yang punya love languages materi, mau nyenengin orang lain dengan kasi-kasi barang. Padahal, belum tentu love language orang yang dikasi itu materi juga. Malah bisa jadi gak ada dampaknya kalau ‘receiving gifts’ dia diurutan terakhir. Malah jadi mismatch. Jadi golden rule: ‘treat people like you want to be treated’ itu agak keliru. Yang bener probably ‘treat people just how they want to be treated’. Ya kalau love language orang itu service, ya kalau mau orang tersebut merasakan cinta kita ya kita kasi service ke orang itu. Simply demikian.
Terus, ternyata nyambung lagi juga sama teori ‘connections’, ada di TedX talk. Katanya orang yang panjang umur itu adalah orang yang punya meaningful connections. I believe ini adalah orang-orang yang dapet love languages sesuai preferensinya dia, dari orang-orang sekitar yang peduli pada dia. Kayaknya ya. Kayaknya.
Oke sekarang mari kita bahas faktor-faktor pendukung mental health, specifically untuk gw. Untuk kalian sendiri silakan dicoba masing-masing.
Deep Dive On Jodhias’ Mental Health Factors:
1. Physical touch
Buat gw, ini specifically getting hugs from family or bros. Gak heran dulu pas SMA dan Kuliah rasanya seneng-seneng aja. Gampang punya hug bros, khususnya di SMA yang culturally ya emang santai aja begitu. Somehow disini ada friction: di lingkungan yang mulai profesional dan dewasa, agak jarang ketemu hug bros. Ditambah, sekarang banyak kasus-kasus laknat pelangi itu. Somehow ini ngaruh juga ke culture dan mindset ntar takut dikira homo. Jadi, “how might we” nya: gimana ya biar bisa normalisasi hug bros begini? Mungkin kalau cewe lebih normal ya. Gimana nasib “natural-born physical touch kind-of-guy” like me? Hahaha
2. Curhat
Kalo bahasa five love languagesnya mungkin ‘quality time’ ya. Kalau bahasanya Ust Nouman Ali Khan itu ‘space’. Buat gw semudah ‘curhat’ aja sih. Sangat mendukung mental health kalau ada sesuatu yang bisa di share ke orang terdekat saat ada yang meresahkan di hati, atau ada plan besar (ya karena gw basically pemikir aja). Buat orang yang dicurhatin tugasnya simpel sebenernya: ya understand dan support aja, dengerin active listening. Nah buat donts nya: kalau lagi curhat karena sebab “ada orang yang rese” - kalo bisa jangan sebutin tuh orangnya. Karena, kalo disebutin, nanti malah jadi ghibah. Dosa deh. Kita itu butuh curhatnya, tapi gak boleh ghibahnya. Kalo ngomongin orang tuh yang baek-baeknya aja. Plus jangan juga pake kata kasar, nanti jadi dosa lagi juga.
Juga, kadang suka gak match: misalnya ketemu sama orang: “wah elo mah masih biasa, gw lebih parah” yang akhirnya jadi adu nasib wkwk. Atau frekuensinya gak sama. Kalo si A mentalnya kuat banget, si B cupu. Nah si A bisa jadi “jiah cupu amat sii gitu doang”. Jadi si A nya gagal active listening deh. Atau terlalu lebay, jadinya forumnya kayak kesedot, ‘kualitas grup’ nya turun karena banyak ‘whining’-nya. Kita pengen dong punya grup yang dorong kita naik, bukan malah narik kebawah?
How might we: gimana caranya kita bisa memenuhi kaidah “the art of curhat”, agar bisa memenuhi kebutuhan mental health kita, tanpa ada maksiatnya, atau bikin grup kita jadi “turun kelas” karena kebanyakan whining..
3. Mendekat ke Allah
Definisinya cukup clear ya, ini faktor pendukung mental health ketika kita berusaha mendekat ke Allah: dengan cara lebih khusyuk, berdua sama Allah aja, baca quran, shalat, zikir, dan doa. Itu rasanya langsung cessss tenang aja gituu.
الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram. [QS. Ar-Ra’d: 28]
How might we: memang kita perlu belajar caranya gimana agar lebih khusyuk, sujud agak lebih lama. Lebih all out deh buat ibadahnya. Super super membantu supporting mental health.
4. Words of Affirmations
Definisinya ini sebenernya, gw ngerasa, kalau ada yang bilang kalo gw itu diperhatiin dan disayang sama orang ini, itu jadi faktor pendukung mental health. Sayangnya ada friction ya. Kalau sama istri anak itu gampang bilang I love you. Cuma, kalau udah ke pertemanan agak beda tuh. Ngomong begitu malah takut dikira pelangi laknat (lagi). Bahkan ya kita ngebayangin aja sih kalo ada yang bilang I love you (cowo ke cowo misal), ya jijik juga. Padahal sebenernya kita butuh dapet perhatian, ato konfirmasi bahwa kita di sayang gitu (well, sounds a bit girlish but yea). How might we: gimana sih caranya menormalisasi ini? Atau ada tips and tricks menyampaikan hal ini yang benar?
5. Impact
Ini salah satu kasta teratas sih. Gak heran kalau di Maslow Hierarchy of Needs itu: ini sebenernya masuk ke kategori atas: Esteem, kayaknya. Contohnya, gw dapet laporan nih sama orang yang baca buku gw, atau yang dengerin seminar gw. Eh dia cerita kalau dia dapet insight banyak dan akhirnya jadi semangat atu paham mau ngelakuin ABCD. Nah, ini jadi energi banget sih buat bergerak. How might we: gimana ya kita bisa normalisasi ngelapor aja gitu kalau ada orang yang impactful buat kita. Kayak, “Bro, appreciate and thank you so much, karena blabla, gw jadi blabla..” Seneng lho digituin.
Kesimpulannya: itulah 5 hal faktor-faktor pendukung mental health gw, yaitu physical touch, curhat, hubungan dengan Allah, word of affirmations, dan impact.
Highlightnya: walaupun misalnya hari ini gw amsyong, kacau, dan hancur; ketika gw bisa menjaga atmosfir / lingkungan faktor-faktor pendukung mental health gw ini, gw akan jadi tetep waras, siap perform lagi, bahkan penuh energi.
Tambahan
Seberapa sering ya kalau kalian melakukan retrospektif? Jujur gw juga jarang. Tapi akhirnya di momen itu gw juga jadi sadar hal-hal yang mendasar. Misalnya: apa sih yang biasanya bikin gw lebih cepet marah daripada hal-hal lain?
Ternyata: yaitu ketika di dalem pikiran gw, harusnya gw udah bener dan rasional, bahkan udah punya plan ABCD, tapi orang lain mencegat hal itu. Well, I completely aware I need to work on this anyways. But, awareness is a good progress right?
*Bahkan kalau ditulis gini rasanya sepele, tapi buat gw di momen itu cukup sulit.
Contoh:
1. Gw udah lari ngejar bis Riyadh. Si supir udah liat gw ngejar. Eh tapi tetep maju dong, bukannya berenti. Bahkan gw cuma ketinggalan ada deh 5 detik. Wkwk
2. Gw pernah punya pemikiran sendiri: pas lagi mau berangkat naik pesawat dari Indo ke Saudi, harusnya gak perlu tuh beli tiket pulang segala ke Indo. Jadi one way aja gitu. Karena, gw pernah ngelakuin hal itu dan bisa. Eh lah, tiba-tiba gak boleh sama maskapainya karena udah regulasi.
3. Ada momen pas gw lagi di Riyadh dan hancur related to mental health ini: “Kayanya bisa nih pulang ke Indonesia kok sembari kelarin semua kerjaan”, kata gw. Karena semua bisa dilakuin online dari Indo anyways kan. Ehh, tapi di hold dong gak boleh pulang karena ada ‘perjanjian’ yang sudah disepakati. Nah sung deh tuh naik pitam wkwk.
So that’s all! Thanks for reading this far, appreciate it!
What do you think about this article? Anything to add or discuss? Ngobrol yuk :)
Wed, 15 Nov ‘23
@Etihad Airways CGK to Abu Dhabi
Jodhias